Langsung ke konten utama

Tinjauan Bab Membumikan Al-Quran


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, islam serta sehat jasmani dan rohani sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan tinjauan bab ini, sebagai tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam dalam buku yang berjudul “MEMBUMIKAN AL-QURAN: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, bagian kedua Bab 1: Agama dan Problematiknya” karya Dr. M. Quraish Shihab.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, serta kepada alim ulama yang telah membawa umat islam kepada zaman pencerahan ini. Sehingga kita bisa menikmati zaman yang penuh dengan pengetahuan, serta kehidupan bermasyarakat yang demokrasi dan penuh dengan khazanah keilmuan yang dewasa ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Tak lupa pula kami haturkan terima kasih banyak kepada Bapak Saefudin Zuhri yang telah mengampu kami, yang dengan sabarnya membimbing kami menuju pemahaman terhadap konsep-konsep keagamaan. Kami juga merasa perlu menunjukkan rasa kekaguman kami atas sikap kedisiplinan yang ditunjukkannya dalam setiap kesempatan, satu penghargaan khusus untuk beliau.
Salah satu tujuan kenapa kami memilih sub bab ini, karena kami merasa perlu memahami atas pertanyaan dasar mengapa manusia harus beragama, yang pada umumnya pertanyaan tersebut luput dari perhatian beberapa pihak.
Kemudian, terlepas dari kesempurnaan sebuah pemahaman, kami yakin bahwa dalam penyusunan tinjauan bab ini sedikit banyak terdapat kekeliruan pemahaman serta susunan beberapa kalimat pemahaman kami. Berangkat dari hal tersebut, kami mengharap sumbangsih pembaca dalam mengkritisi, baik dari segi isi maupun strukturnya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang telah memberikan manfaat.

Cirebon, Desember 2010

Penyusun

 

Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat-Ku kepada mereka yang bersikap angkuh di permukaan bumi . . . (Qs 7: 146).

“Al-Quran adalah jamuan Tuhan,”
demikian bunyi sebuah hadis. Rugilah yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya.

“Biarkanlah Al-Quran berbicara (Istantiq Al-Quran),”
(Ali ibn Abi Thalib)
“Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan kepadamu,”
(Muhammad Iqbal)

“Rasakanlah keagungan Al-Quran, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu,”
                                         ( Syaikh Muhammad ‘Abduh)

“Untuk mengantarmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-Quran, tidaklah cukup kau membacanya empat kali sehari”
( Al-Mawdudi)

























PENULIS BUKU


       Buku “Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” yang ditulis oleh Dr. M. Quraish Shihab sebenarnya adalah kumpulan dari makalah dan ceramah tertulis beliau dalam rentan waktu sekitar 20 tahun kebelakang. Cetakan pertama pada bulan Syawwal 1412/Mei 1992, dan telah tercatat bahwa buku ini telah dicetak sebanyak 16 kali.
       Dr. M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Beliau menempuh pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah pada tahun 1958 dan berangkat ke Kairo, Mesir, diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Quran Al-Karim.
       Sekembalinya ke tanah air mengabdi kepada masyarakat di bidang akademik maupun kemasyarakatan. Kemudian pada tahun 1980, beliau kembali lagi ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama. Pada tahun 1980, beliau meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran.
       Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
·         Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).
       Dari sekilas pandang tentang diri penulis, dapat kita simpulkan bahwa beliau memang mumpuni dalam pemahaman tentang Al-Quran dan tafsirnya, yang sifatnya cukup terbuka untuk dipahami oleh siapa saja, dan dimana saja.
___________________________________________
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 16, Sya’ban 1418/ Desember 1997
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038



PERKEMBANGAN TAFSIR


       Sebelum menginjak kepada pembahasan sub bab yang kami pilih, terlebih dahulu kami akan mengulas sedikit bab lainnya yang relevan pada fokus bab tertinjau.
       “Apabila Anda membaca Al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda.
Tetapi, bila Anda membacanya sekali lagi, anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda dapat menemukan kata atau kalimat yang mempunyai arti bermacam-macam, yang semuanya benar atau mungkin benar.
Ayat-ayat Al-Quran bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya.
Dan tidak mustahil, bila anda mempersilakan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat.”
(‘Abdullah Darraz)

       Kalimat-kalimat di atas yang sering dinukil penulis dalam setiap kesempatan penulisan karya-karyanya. Sejalan dengan pernyataan di atas, pengertian tafsir Al-Quran yang diketengahkan penulis adalah upaya manusia (mufassir) untuk memahami makna yang terkandung dalam firman Allah sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan manusia bertingkat-tingkat dan kecenderungannya berbeda-beda, sehingga kualitas dan pesan yang ditemukan dari Al-Quran juga berbeda-beda. Perbedaan pesan yang ditemukan dari Al-Quran juga disebabkan oleh perbedaan budaya yang melingkupi mufassir, sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam sikap keberagamaan seseorang yang berusaha memahami agama melalui penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh mufassir tertentu (meminjam pemahaman; Dr. H. U. Syafrudin; Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, 2009).
       Karena Al-Quran memiliki banyak keistimewaan, keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan serta bersifat multi interpretabel, sehingga pada saat yang bersamaan mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya dengan kemungkinan satu sama lain memiliki perbedaan .
       Hal tersebut dapat dipahami bahwa sifat Al-Quran dapat ditafsirkan oleh siapa saja yang mampu dan telah memenuhi syarat sebagai seorang mufassir. Karena Nabi saw sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran, sehingga tidak ada jalan lain kecuali para mufassir berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir.
       Dalam Al-Quran, Allah telah berfirman yang Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”(Qs 16:44).
       Dalam hal ini, penulis mengemukakan bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya. Selain kebebasan yang telah disebut di atas yang ditawarkan dalam menafsirkan Al-Quran, di dalamnya juga terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan.
       Ibn ‘Abbas, salah seorang sahabat Nabi menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, hal yang harus dimengerti setiap orang; ketiga, yang hanya dimengerti oleh ulama; keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
       Selanjutnya, mengenai syarat-syarat yang ditetapkan untuk menjadi seorang mufassir adalah sebagai berikut: pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan Ushul Fiqh; pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
       Dalam perkembangan Tafsir dikenal adanya Tafsir bi Al-Ma’tsur yaitu gabungan penafsiran dari Rasullullah saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran para tabi’in,  yang dikenal sebagai periode pertama dari perkembangan tafsir. Metode ma’tsur berusaha menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat yang lainnya atau dengan hadis-hadis Nabi Muhammad. Jalan yang ditempuh olehnya dengan pendekatan periwayatan dan kebahasaan. Metode riwayat memiliki keistimewaan jika ditinjau dari segi informasi kesejarahannya yang luas serta keobyektivitasan mereka dalam menguraikan riwayat tersebut. Namun, Imam Ahmad menilai tafsir yang berdasarkan riwayat tidak mempunyai dasar yang kokoh. Dalam hal ini, Penulis berusaha menjelaskan bahwa metode ini tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat kontemporer bila tafsirnya tidak dikembangkan ke arah depan sesuai perkembangan zaman. Hal itu, dapat kami artikan bahwa penulis tidak sepenuhnya menolak metode ini.
       Pada perkembangan selanjutnya, setelah masa tabi’in berakhir, telah berkembang penafsiran yang memiliki corak-corak tertentu, seperti corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan. Corak yang disebutkan terakhir merupakan corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.
       Selanjutnya, juga dikenal metode tafsir bi al-ra’y yang mengedepankan penggunaan nalar bayani dalam menafsirkan Al-Quran. Beberapa metode yang popular dikalangan mufassir adalah metode tahliliy atau tajzi’iy dan mawdhu’iy.
       Metode tajzi’iy berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf. Metode ini dinilai sangat luas karena untuk menguraikan penafsiran ayat bermula dari arti kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Namun, menurut Malik bin Nabi metode ini ditujukan hanya untuk menunjukkan mukjizat-mukjizat Al-Quran kepada kaum non-muslim, sehingga menurut penulis dirasa kurang efektif penggunaannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.
       Selain itu, penulis berusaha mengemukakan ketidaksetujuannya kepada metode ini, karena dirasa mengekang berkembangnya penafsiran-penafsiran baru bagi mufassir generasi penerus, dengan alasan bahwa mufassir yang menggunakan metode ini dirasa terlalu memaksakan pendapatnya mengenai kebenaran penafsiran yang didapatkannya, serta subyektivitas yang tidak bisa dibenarkan. Para mufassir melakukan penafsiran secara khusus ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Sebagai konsekuensi cara tersebut, menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak ditemukannya pemahaman secara utuh dan menyeluruh, sehingga menyulitkan para pembaca dalam memahami isi kandungan Al-Quran secara komprehensif. Periode ini diduga telah dimulai oleh Al-Farra dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al-Qur’an.
       Pada akhirnya para ulama menyadari bahwa setiap surat memiliki sentral yang mengikat semua masalah-masalah yang ada dalam Al-Quran. Selanjutnya, Syaikh Mahmud Syaltut mengembangkan metode maudu’iy (tematik) dengan cara menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkannya satu dengan yang lainnya, dan menafsirkanya secara keseluruhan dan utuh.
       Selanjutnya, mengenai tafsir dalam era globalisasi  penulis meninjau apa yang ditulis Dr. Abdul Aziz Kamil, dalam bukunya A-Islam wa Al-Mustaqbal mengenai “Al-Islam Al-Iqlimiy” yaitu setiap kawasan atau lokasi memiliki corak dan bentuk yang berbeda dengan yang lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah dianut sebelumnya, sehingga sedikit banyak akan berpengaruh pada corak kehidupan keberagamaannya.
       Penulis menyetujui pendapat di atas dengan alasan bahwa kaitannya dengan Al-Quran yang ditujukan kepada seluruh manusia pada semua tempat dan waktu. Namun, di sisi lain apabila dalam kenyataan yang ditunjukkan hanya dari segi perbedaan iklimnya saja, penulis menekankan ketidak wajaran apabila pengertian ini mengakibatkan adanya tafsir Al-Quran khas daerah tertentu.
       Di lain pihak, Dr. H. U. Syafrudin dalam bukunya “Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual”, mengatakan bahwa kecendrungan tafsir moderen terbagi menjadi tiga model, yaitu tafsir ‘ilmi, tafsir realis (waqi’i) dan tafsir sastra (adabi). Sejauh yang peninjau pahami, bahwa kedua model yang pertama disebut dapat dikategorikan ke dalam model praktis, sebagai akibat tantangan zaman yang semakin berkembang dan kompleks.
       Kemudian, terlepas dari kebenaran pemahaman peninjau, kami dapat melihat bahwa paradigma model tafsir yang berkembang dari masa kemasa akan sangat menentukan cara pandang masing-masing orang yang memiliki kecondongan pada salah satu model penafsiran Al-Quran. Meminjam istilah yang disebutkan Syafrudin dalam pemahaman yang dipinjamnya dari ahli lain, bahwa perkembangan tafsir selalu mengalami pergeseran paradigma dan epistemologi, penganut madzhab model penafsiran  tekstual (bi al-riwayah) pada umumnya bertumpu pada nalar bayani yang memiliki kecendrungan ideologis yang cenderung reaksioner dan  menolak perubahan. Sedangkan, di sisi lain model penafsiran kontekstual lebih peka dalam menjawab setiap permasalahan yang muncul di hadapan umat dizaman kemajuan ini.
       Tipologi penafsiran yang telah dibahas di atas, dapat kami tarik kesimpulan yang cukup mendasar. Namun, terlalu sempit pandangan yang dapat kami dapatkan yaitu bahwa cara yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran akan sangat menentukan  cara pandang keberagamaan seseorang. Apabila tidak dilakukan dengan cara yang komprehensif dan bijaksana dalam memandang keadaan zaman, maka akan dirasa sangat sempit kehidupan ini.


 
AGAMA DAN PROBLEMATIKNYA

Perlunya Beragama
       Agama adalah salah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi akan dirasa sangat sulit untuk mendefinisikannya dari segi keilmuaan.
       Masing-masing ahli memiliki definisinya sendiri-sendiri, seperti halnya Mahmud Syaltut yang menyatakan bahwa agama adalah ketetapan-ketetapan Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.
       Penulis mengambil kesimpulan mengenai pengertian agama ini melalui pendapat yang diajukan Syaikh Muhammad Abdullah Badran, bahwa agama adalah hubungan antara makhluk dan Khaliq-nya.
       Selanjutnya, mengenai awal mula kebutuhan manusia akan agama masing-masing ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, menurut Freud, ahli Ilmu Jiwa terkenal, bahwa agama bermula dari kompleks Oedipus, dia menganggap bahwa agama bermula ketika seorang manusia memiliki birahi kepada ibunya, kemudian ia membunuh ayahnya dan pada akhirnya karena ia merasakan penyesalan yang mendalam, ia membuat sesaji sebagai penghilang rasa  takutnya .
       Sementara itu, menurut pakar Islam bahwa benih agama muncul karena manusia menemukan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Ketika Nabi Adam diturunkan dari surga, ia melakukan perjalanan di muka bumi ini kemudian ia menemukan ketiga hal di atas. Sebagai ilustrasinya, diduga bahwa Adam menemukan keindahan ketika ia melihat indahnya bintang-bintang di langit, kembang bermekaran, dan sebagainya. Ketika ia merasa gerah kepanasan, angin menerpa tubuhnya yang menyegarkan tubuhnya, di sana ia menemukan kebaikan. Kemudian, kebenaran ditemukan di dalam alam raya ciptaan Tuhan serta apa yang ada dalam dirinya.
       Gabungan ketiganya  mendatangkan kesucian, karena naluri manusia yang selalu mempunyai rasa ingin tahu, maka ia berusaha mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan tertinggi. Jiwa dan akalnya membawa kepada yang Mahasuci dan berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha untuk mencontoh sifat-sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan proses beragama sebagai ”upaya untuk mencontoh sifat-sifat yang Mahasuci”.
       Manusia lahir seperti bayi yang tidak membawa pengetahuan apa pun, namun dengan panca indra, akal, dan jiwanya, ia mampu belajar dari alam sehingga pengetahuannya bertambah banyak. Namun demikian, manusia memiliki keterbatasan pada panca indera yang dimiliknya. Seperti yang telah disebut di atas bahwa manusia memiliki rasa ingin tahu, keterbatasan tersebut mengakibatkan ada banyak hal yang tak mampu diketahui oleh apa yang dimilikinya. Ia akan membutuhkan informasi yang dirasa sangat penting untuk diketahui. Di sinilah informasi Tuhan akan muncul. Informasi tersebut berupa wahyu yang diterima oleh manusia-manusia tertentu.
       Seperti yang kita ketahui bahwa manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang tidak bias terlepas dari bantuan orang lain, sehingga akan selalu berhubungan dengan orang di lain dirinya. Hubungan tersebut sering mendapati permasalahan karena perbedaan kepentingan, dasarnya manusia memiliki sifat egoistis yang menginginkan kepentingan pribadinya didahulukan. Apabila tidak ada aturan baku yang diterapkan oleh yang tanpa ada sedikitpun memiliki kepentingan dalam menentukan aturan, maka sangat dimungkinkan akan terjadi kekacauaan. Di sini dapat kita lihat, perlunya manusia terhadap peraturan yang harus diterpakan. Tuhan, Dialah yang Maha Adil dalam menentukan peraturan.

Universalisme Islam
       Dalam permulaan masalah ini, penulis bermaksud menjelaskan kepada pembaca bahwa Islam berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia yang selanjutnya disebut sebagai Islam bersifat universal, namun ada pula yang bersifat khusus yang diterima oleh umat Islam sebagai aqidah atau kepercayaan dasar.
       Dalam hal ini, penulis bermaksud membahas konsep natijah yang dibahas oleh pemakalah lainnya (Dr. Atho Mudzar). Permulaan uraian yang di sampaikan oleh pemakalah yang dimaksud, dengan pertanyaan yang sangat mendasar mengenai bahasan universalisme Islam, yaitu aspek-aspek apa saja dari ajaran Islam yang memang benar-benar universal?
       Namun, penulis bermaksud menggunakan argumentasi lain dalam pembahasan mengenai konsep tersebut dengan tujuan untuk memberi gambaran tentang topik bahasan, serta beranggapan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh pemakalah dalam makalahnya memiliki kelemahan yang dirasa perlu diperbaiki agar tidak terjadi pemaknaan yang terdiferensiasi.
       Argumentasi yang dimaksudkan penulis adalah sifat dan ciri-ciri ajaran Islam adalah sebagai berikut: (1) Rabbaniyah; (2) Al-Syumu (keumuman); (3) Al-Waqi’iyyah (atas dasar obyektivitas kenyataan yang dimiliki manusia); dan lain-lain.
       Sifat universalisme Islam dititik beratkan pada sifat Al-Waqi’iyyah, bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat naluriah seperti yang Al-Quran kukuhkan atau berdasarkan pemahaman kami bahwa fitrahnya manusia itu Islam, hanya saja perbedaan-perbedaan kondisinya baik waktu maupun waktu saja yang mengakibatkan Islam tidak dianut oleh seluruh manusia.
       Dari pemahaman di atas dapat kita lihat, bahwa universalisme didapatkan dari kesamaan yang ada, sedangkan partikularitas dipandang dari segi perbedaaan kondisional. Namun, sifat dasar perbedaan-perbedaan tersebut adalah sunnatullah, sehingga tentu saja akan direstui agama. Hal tersebut merupakan hasil pemahaman kami.
       Selanjutnya, Waqi’iyyah tercermin pada prinsip pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang dirasa membawa gangguan terhadap fitrah  dibolehkan untuk tidak dipenuhi oleh manusia. Namun, menurut kami hal tersebut bukan berarti petunjuk-petunjuk yang diberikan ada yang bertolak belakang dengan fitrah manusia. Prinsip yang bersifat universal ini dikenal dengan nama al-qaw’id al-hakimah atau kaidah-kaidah hukum yang memberi keringanan dalam keadaan tertentu (kondisional).
       Al-Waqi’iyyah juga tercermin dalam petunjuk-petunjuk-Nya yang rinci dan global. Apabila petunjuk yang disampaikan bersifat asasi dan tidak mungkin berubah, maka Al-Quran akan memberi rincian-rincian dari yang bersifat global tersebut. Kemudian, apabila petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat di jabarkan sendiri oleh kemampuan manusia, maka ayat tersebut boleh jadi menjadikan perbedaan interpretasi, sehingga kemampuan manusia untuk berfikir dapat difungsikan, tanpa harus selalu tergantung pada ketentuan-ketentuan yang dianggap terlalu sakral untuk menafsirkannya dari segi kontekstual.

Agama: Antara Absolutisme dan Relativisme
       Dalam pembahasan masalah ini, penulis bermaksud mengajak pembaca untuk memahami realitas yang sedari dulu tak dapat diterima atau pun belum juga diakui eksistensinya. Maksudnya, pada umumnya manusia selalu merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar, sehingga persolan kafir-mengkafirkan menjadi paradigma yang tak kunjung terselesaikan. Seperti yang kita pahami bahwa pada dasarnya manusia memang tercipta beragam, baik dari jenis, suku, bangsa maupun agama.
       Penulis memandang bahwa permasalahan tersebut hendaknya dapat dipahami sebagai sunatullah, sehingga kerukunan antar umat beragama dapat tercapai dengan mudah. Bukan seperti yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimasi yang mengklaim bahwa agamanya adalah agama yang paling benar dan berusaha untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
       Dengan mengemukakan beberapa contoh kerukunan antar umat beragama, penulis membawa para pembacanya untuk dapat merelakan rasa paling benar yang dimilikinya dan hendak mengkafirkan yang tak sepaham untuk sedikit dihilangkan. Seperti halnya ketika Nabi Muhammad saw. yang dapat hidup rukun dengan penguasa Mesir, bahkan penguasa tersebut telah mengirimkan seorang putri Mesir yang kemudian menjadi ibu dari Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw.
       Dari contoh tersebut, kita dapat mengambil sebuah hikmah yang sangat berharga. Nabi saja yang sebagai pembawa risalah-Nya, memberi contoh mengenai hal kerukunan antar umat beragama, mengapa kita yang mengaku berkeinginan mencontoh ketauladanan Nabi tak dapat hidup rukun antar umat beragama? Bukankah terlalu ganjil jika kita melihat apa yang ada dibenak manusia apabila tak mengakui hal tersebut?
       Selanjutnya berlanjut pada pembahasan, karena ajaran agama yang sampai kepada pemeluk-pemeluknya sekarang ini dengan cara estafet. Kemungkinan-kemungkinan pemaknaan sebuah kaidah akan mengalami perubahan interpretasi dari satu generasi kegenerasi lainnya, akibat dari telah tiadanya utusan langsung pembawa risalah Tuhan dari masing-masing agama panutan di tengah-tengah kehidupannya. Sehingga, akan diperlukan petunjuk-petunjuk baru untuk memahami sebuah ajaran yang telah ada sebelumnya.
       Interpretasi petunjuk tersebut akan menjadi absolut manakala penganutnya menyepakatinya bersama menjadi suatu pemaknaan yang tunggal. Kemudian, interpretasi akan bersifat relatif ketika ia mengandung berbagai kemungkinan makna. Namun, sebuah interpretasi tidak mungkin akan diterima oleh semua kelompok dalam suatu agama tertentu.
       Penulis juga bermaksud menjelaskan mengenai absolusitas dan relativitas dalam kehidupan keberagamaan. Sejauh pemahaman kami, bahwa absolusitas keberagamaan hanya berlaku bagi pribadi masing-masing penganut sebuah agama sebagai hal yang bersifat kejiwaan. Sedangkan relativisme, akan muncul ketika antara pribadi manusia tersebut saling dihadapkan satu sama lainnya. Sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis melalui ayat berikut.
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(Qs 3:64)

Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, Kemudian dia memberi Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui". (Qs 34:24-26)
Dari ayat yang pertama disebutkan, menurut penulis mengandung pengakuan eksistensi yang bersifat timbal balik “bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku” sehingga dengan demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar tanpa harus memaksanakan pendapatnya kepada orang lain, namun ia tetap harus memegang teguh apa yang dianggapnya absolut.
       Keluar dari sajian teks buku tertinjau, menurut salah seorang dosen yang sedikit banyak memberikan mata kuliah keagamaan kepada kami bahwa dalam diri masing-masing umat beragama, menurut kami terdapat dua hal yang sering tercampur aduk atau bahkan salah dalam menafsirkan apa yang dipercayainya yaitu konsep Tuhan masing-masing agama dan Dzat Tuhan yang saat ini harus dianggap Esa oleh setiap muslim  dan memang hanya Dia, Allah swt..
       Jika kita sebagai orang muslim menganganggap bahwa Tuhan adalah Esa, Allah swt. sudah barang tentu Tuhan itu hanya Allah, tidak ada yang lain selain Dia. Hanya saja, seperti yang penulis buku ini sebutkan, bahwa absolusitas kepercayaan tersebut dianggap hanya berlaku bagi pribadi masing-masing manusia dengan tidak membawanya keluar dari “dalam”.
       Yang menjadi permasalahan sekarang adalah pandangan muslim awam dalam memandang konsep Tuhan yang dimiliki penganut agama lain, dianggapnya sama dengan konsep Tuhan yang dipercayainya. Sehingga, menurut dosen kami tersebut, hal tersebut mengindikasikan bahwa Tuhan yang dipercayai penganut agama lain memang adalah Tuhan, berarti Tuhan yang juga harus ada adalah Tuhan selain Allah yang dianggapnya Esa, sehingga secara tidak langsung dia juga menganggap Tuhan itu tidak Esa. Hal tersebut perlu mendapatkan pelurusan konsep ke-Tuhan-an yang harus dipercayainya, bahwa hanya konsep saja yang berbeda, bukan Tuhan-nya yang berbeda, hanya Dia yang Maha Esa, Allah swt.
       Tidak terlepas dari hasil review ini, kami belum mampu untuk mensintesis sebuah kesimpulan yang dapat dipahami.

Kesimpulan
       Pada akhir penulisan review ini, kami merasa perlu menyampaikan beberapa hal yang sewajarnya perlu dilakukan.       Menurut kami, dalam usaha memahami konsep agama maupun mengenai hal yang berhubungan dengan ketuhanan dari sebuah buku, karya seseorang, hendaknya kita harus sangat selektif dalam menarik sebuah kesimpulan yang akan kita jadikan serapan dalam main set yang kita miliki yang akan menjadi landasan cara pandang kita terhadap agama anutan. Dengan kata lain, kita tidak dipekenankan untuk menarik sebuah kesimpulan secara tergesa-gesa, agar kesalahan konsep ketuhanannya dapat dihindari.
       Pada dasarnya, sebuah keyakinan dan keimanan kepada Tuhan yang dialami oleh  seseorang akan sangat dipengaruhi oleh apa yang dipahaminya mengenai agama yang dianutnya. Apa yang ada dalam benak seseorang, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keadaan jiwanya yang selanjutnya akan tercermin pada tingkah laku, serta tindakan-tindakan kesehariannya.
       Selanjutnya, kami berpendapat bahwa karakter dasar keberagamaan seseorang juga merupakan faktor pembawaan. Sehingga, tidak menutup kemungkinan ketika seseorang belajar memahami agama melalui pemahaman orang lain, ia akan menemui beberapa benturan antara konsep yang sebelumnya telah melekat pada dirinya dengan konsep yang ditawarkan oleh pemahaman orang yang sedang dipelajarinya. Di sinilah akan terjadi berbagai pertimbangan, antara menolak konsep maupun menerima konsep yang ditawarkan. Sejauh pemahaman kami, hal tersebut juga merupakan problematik yang akan dijumpai dalam kehidupan keberagamaan.
      
Kelebihan dan Kekurangan Buku Tinjauan
       Di awal review telah disebutkan bahwa buku tertijau merupakan kumpulan makalah-makalah yang pernah dicatat oleh penulis. Sehingga, pengulangan materi sering dijumpai. Penyusunan urutan pembahasannya pun dirasa kurang tertata, hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya kata-kata yang belum kami mengerti, namun pembahasan detailnya berada di bab belakang, ketuntasan pembahasan tidak secara langsung. Sehingga, tidak jarang kami menilik secara bergantian antara bab awal dilanjutkan ke bab akhir. Bagi pembaca awam hal tersebut cukup membuat kurang nyaman.
       Kami juga menemukan yang kami rasa kurang adil, bahwa penulis dalam mengutip ayat-ayat Al-Quran kadang-kadang tidak secara keseluruhan dalam satu ayat, hanya untuk sekedar menguatkan argumennya. Penulis juga menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran dengan bahasa yang dirasa kurang baku, jika memang kalimat “tersorot” merupakan terjemahan, karena di dalamnya tidak terdapat keterangan yang dapat dipahami. Namun, kami juga harus mengakui jika tafsir adalah produk manusia yang tabiatnya sering berbuat kesalahan. Berikut contoh kutipan lengkapnya (hal. 223. Prgf. 4&5).
“Siapa yang ingin percaya, silakan dan siapa yang menolak terserah jua baginya” (antara lain QS: 18:29). Dengan penjelasan lanjutan, “Ada orang yang memutlakkan jatuhnya siksa Tuhan kepada selain golongnnya, seakan-akan ingin membatasi rahmat Tuhan. Padahal Tuhan sendiri menyatakan Rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku.
       Walaupun kami tidak mengetahui jika kalimat tercetak miring merupakan terjemahan atau sebuah tafsir.
       Bila kita bandingkan dengan terjemahan dalam satu ayat penuh versi penerbit Syaamil (Depag,2006) “Dan Katakanlah (Muhammad): "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) Biarlah dia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.(Qs 18-29)
       Bila dikutipnya secara keseluruhan, tentu dirasa akan sulit menjelaskan makna yang tercetak miring dan tebal di atas dengan tetap mempertahankan argumennya yang seperti itu. Hal tersebut mengindikasikan, yang sementara  ini kami anggap adalah sebuah ketidak tepatan. Mengenai pemaknaan yang tercetak tebal kami tidak memiliki otoritas untuk melakukan tafsir secara “sembrono”. Kami juga harus mengakui jika pendapat kami ini, hanya berdasarkan intuisi yang terlintas dibenak kami.
       Secara keseluruhan, menurut Jansen seperti yang dikutip oleh Syafrudin, penulis merupakan tipe mufassir praktis yang berusaha menjawab kebutuhan umat. Hal tersebut merupakan kelebihan penulis, yang dalam usahanya selalu berusaha untuk kepentingan umat.
       Dalam pada itu, buku tertinjau merupakan karya abadi yang sampai saat ini menjadi rujukan yang tidak bisa dianggap sedikit penggunaannya. Karena memang penulis merupakan mufassir caliber se-Asia Tenggara, itu berarti penulis merupakan mufassir terkemuka.
      


Marah kepada Orang-orang Fanatik[1]
Dengan cara inilah seorang Yahudi menceritakan mimpinya. Oh, banyak orang Yahudi yang akhirnya patut dipuji.
Janganlah menolak orang kafir, karena dapat diharapkan kelak dia mati sebagai seorang Muslim.
Pengetahuan apakah yang engkau miliki tentang akhir hayatnya, sehingga engkau mengambil sikap untuk memalingkan wajahmu dari dia?



[1] A Nicholson, Reynold. 1993.Jalaluddin Rumi; Ajaran dan Pengamalan Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus


TINJAUAN BAB
MEMBUMIKAN AL-QURAN
(BAGIAN KEDUA: BAB I (AGAMA DAN PROBLEMATIKNYA))
( Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A. )

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
 Dosen :Dr. Saefudin Zuhri, M.Ag.






Disusun Oleh :







TARBIYAH / IPA-BIO D / SEMESTER I

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2010

Komentar

  1. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack - Hendon Mobhub
    The w88 hotel and casino, which features 남원 출장안마 a casino, is located on the 충청북도 출장샵 Chesterfield/Somerset corridor. Harrah's 아산 출장안마 Philadelphia Casino & Racetrack 사천 출장샵

    BalasHapus

Posting Komentar

Kami Akan Terus Mengembangkan Konten dalam Blog Ini

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PAGELARAN WAYANG KULIT SEMALAM SUNTUK TAHUN 2011

PANITIA NGUNJUNG BUYUT PANEMBAHANPANGERAN PASAREAN KELURAHAN GEGUNUNG KECAMATAN SUMBER KABUPATEN CIREBON TELP. 081 324 292 345 PROPOSAL PAGELARAN WAYANG KULIT SEMALAM SUNTUK TAHUN 2011 A.       Pendahuluan Seni dan Budaya dalam arti luas, memiliki pemahaman yang menyatu dengan proses pembentukan cita rasa manusia terhadap waktu dan alam jagat raya. Sebagai sebuah proses, Seni dan budaya saat  ini mengalami suatu keadaan, dimana kita (manusia) sebagai pelaku pencetus lahirnya seni dan budaya, termanipulasi oleh perkembangan zaman atau larut dalam seni dan budaya modern. Proses perkembangan zaman  ini  mambuat kita lupa akan seni dan budaya leluhur yang merupakan prototype dan asal-usul lahirnya sebuah sejarah dan kebudayaan bangsa.

Pengantar Awal

Lan iki saban-saban maca sejarah Babad Cirebon kudu maca fatekah ngaturi maring Gusti ingkang sinuhun kanjeng susuhunancirebon, arep maca lan sawuse maca. “ Tshumma ila khadhroti sayyidina wamaulana sulthoni makhmudaauliyaallahu ta’ala qutubizzaman kholifaturrosullullohi shollallohi ‘alaihi wasallam, syaullohilahumul faatikhah”. Ikilah sejarah Babad Cirebon. Poma-poma aja den silihaken ing wong liyan. “Wallohi a’lamubisshowab”

Sejarah Situs Makam Pangeran Pasarean

  Situs Pangeran Pasarean terletak ± 2 km kearah timur dari pusat pemerintahan Kab. Cirebon, tepatnya di Rt/04/01 Kel. Gegunung Kec Sumber. Menurut kitab Cirebon Nagari Pangeran Pasarean nama aslinya Pangeran Muhammad Arifin putra Syaikh Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal Sunan Gunung Jati.